Software Anti Virus

Showing posts with label Skripsi Kesehatan. Show all posts
Showing posts with label Skripsi Kesehatan. Show all posts

Sunday, June 27, 2010

Pengetahuan Dan Sikap Tentang Malaria

Hubungan Antara Pengetahuan Dan Sikap Tentang Malaria Dengan Kepatuhan Menelan Obat Pada Penderita Malaria Di Puskesmas

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Malaria adalah penyakit menular yang di sebabkan oleh parasit protozoa dari genus plasmodium,yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles. Penyakit malaria hampir di temukan di seluruh dunia terutama di negara-negara yang beriklim tropis dan sub tropis. 

Malaria merupakan masalah kesehatan yang terdapat hampir di seluruh dunia. Sekitar 300 juta penduduk diserang tiap tahunnya dan sekitar 2-4 juta penduduk meninggal dunia akibat serangan penyakit malaria. Malaria merupakan penyakit utama yang menyebabkan kesakitan dan kematian terutama di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Peningkatan angka kesakaitan dan kematian akibat penyakit tersebut diatas masih cukup tinggi terutama di kawasan timur Indonesia. (1)
Wilayah Propinsi Papua merupakan daerah endemis,terutama di daerah pesisir pantai angka endemisitasnya jauh lebih tinggi yaitu 0,3 per 1000 penduduk dibandingkan di daerah Pegunungan yang hanya terdapat 0,25 per 1000 penduduk. Sampai dengan tahun 2002 Annual Pracite Incidence (API) untuk tingkat Propinsi Papua mencapai 1,8 per 1000 penduduk. Pada tahun 1980-an ke bawah angka penderita malaria masih didominasi didaerah pesisir pantai saja,namun setelah memasuki tahun 1990-an angka penderita malaria tidak jauh berbeda antara pesisir pantai dan Pegunungan, dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan karena terjadi perpindahan penduduk dari daerah non endemis (Pegunungan) ke daerah endemis (Pantai) ataupun sebaliknya.

Kabupaten Pegunungan Bintang sebenarnya bukan merupakan daerah endemis malaria sebelumnya,karena daerah tersebut terletak didaerah Pegunungan bagian paling timur dari Propinsi Papua. Namun sesuai data terakhir untuk tingkat Kabupaten/Dinas Kesehatan Kab. Pegunungan Bintang tahun 2007 menunjukan angka yang cukup tinggi yaitu sebesar 522 kasus malaria (51,23%) dengan angka API (Annual Parasite Incidence) 2,5 per 1000 penduduk.
Dari data tersebut diatas,jumlah kasus malaria yang di jumpai di Puskesmas Kiwirok Kabupaten Pegunungan Bintang sebanyak 122 kasus malaria (32,18%) dengan angka API (Annual Parasite Incidence) sebesar 1,4 per 1000 penduduk,jauh lebih tinggi dari standar Nasional yaitu 0,08 per 1000 penduduk.

Jumlah kunjungan kasus malaria yang terdapat di Puskesmas Kiwirok pada tahun 2008 yaitu sebanyak 37 kasus (13,47%) dan diperkirakan cenderung mengalami peningkatan jumlah kasus sampai dengan akhir tahun tersebut.

Untuk mengendalikan angka kesakitan dan kematian akibat serangan penyakit malaria,maka dilakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut : dengan Active Case Detection (ACD) : Pencarian kasus pada penduduk,Passive Case Detection (PCD) : Semua penderita malaria klinis yang datang ke unit pelayanan kesehatan, Mass Fever Survey (MFS) : Mengkonfirmasikan bahwa desa yang kasusnya nol atau rendah memang benar-benar mempunyai tingkat transmisi yang rendah pula dan Malariometrik Survey (MS) : Survey pemeriksaan limpa. (1)

Dalam pengobatan penyakit malaria dilakukan beberapa upaya antara lain,pengobatan pencegahan (profilaksis),pengobatan klinis,pengobatan radikal,dan pengobatan masal. Upaya penyembuhan terhadap penyakit malaria ada kalanya mengalami kegagalan sehingga penderita mengalami kekambuhan/relapse. (11)

Menurut Depkes RI 1999,kambuh atau relapse pada malaria dibedakan atas rekurensi dan rekrudesensi. Rekurensi adalah kekambuhan malaria jenis plasmodium vivax dan plasmodium ovale yang di sebabkan oleh adanya fase hipnozoit didalam sel hati. (8) Dengan adanya fase hipnozoit tersebut maka suatu saat penderita bisa mendapat serangan malaria yang ke dua (malaria sekunder).
Pada plasmodium falciparum dan plasmodium malariae tidak memiliki hipnozoit dalam sel hati. Kemungkinan berulangnya serangan malaria pada kedua jenis malaria ini umumnya disebabkan oleh kecenderungan parasit malaria yang masih tersisa didalam darah akibat pengobatan yang tidak sempurna/teratur. Kekambuhan malaria seperti ini disebut rekrudesensi. Rekrudesensi terjadi dalam beberapa hari atau minggu (< 8 minggu) sesudah serangan malaria yang pertama,sehingga disebut short term relapse.

Short term relapse biasanya disebabkan oleh pengaruh kebiasaan,kurangnya pengetahuan,kelalaian dalam mengkonsumsi obat,dan lain sebagainya. (11)

Berdasarkan penjelasan Kepala Pukesmas Kiwirok pada survey pendahuluan bahwa,di wilayah yang dipimpinnya hampir di setiap desa terdapat kasus malaria klinis. Sesuai data kunjungan kasus malaria pada akhir tahun 2007 terdapat 122 kasus,hasil rekapan dari 4 pustu,6 BP,dan 6 Polindes. Dari jumlah tersebut dinyatakan sembuh setelah menjalani pengobatan sebanyak 112 orang penderita,sedangkan 10 kasus masih menjalani pengobatan radikal karena terjadi kekambuhan.

Menurut keterangan P2M Malaria, kekambuhan kasus malaria umumnya terjadi karena terdapat pembesaran limpa pada eberapa penderita termasuk 10 kasus tersebut diatas,hal ini disebabkan karena adanya parasit malaria didalam darah akibat penderita tidak menelan obat sesuai petunjuk yang diberikan oleh petugas kesehatan pada saat penderita menjalani pengobatan klinis.

Menurut Cuneo dan snider,Handojo dan Partasasnita,salah satu faktor yang menyebabkan rendahnya kepatuhan menelan obat adalah faktor penderita yang meliputi kebiasaan,tidak disipilinnya penderita dalam hal minum obat,dan motivasi untuk berobat makin lama makin menurun. Kepatuhan dalam menelan obat merupakan perwujudan dari perilaku kesehatan seseorang penderita terhadap pengobatan yang dijalaninya. (10)

Dalam teori perilaku yang di kemukakan oleh Lawrence Green, terbentuknya perilaku seseorang di pengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah faktor predisposisi yangterdiri atas pengetahuan,sikap, kepercayaan,tradisi dan nilai-nilai. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (over behavior),termasuk pada tindakan seseorang dalam upaya pemulihan kesehatan,dalam hal ini adalah kepatuhan menelan obat. (5)
Berdasarkan uraian tersebut di atas maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang hubungan antara pengetahuan dan sikap tentang malaria dengan kepatuhan menelan obat pada penderita malaria di Puskesmas Kiwirok Kabupaten Pegunungan Bintang periode 2008/2009

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang tersebut diatas maka dapat di rumuskan masalah sebagai berikut : “Apakah ada hubungan antara pengetahuan dan sikap tentang malaria dengan kepatuhan menelan obat pada penderita malaria di Puskesmas Kiwirok Kabupaten Pegunungan Bintang ?”

C. Tujuan Penilitian
1. Tujuan Umum
Mengetahuai hubungan antara pengetahuaan dan sikap tentang malaria dengan kepatuhan menelan obat pada penderita malaria.

2. Tujuan Khusus
a. Mengatahui gambaran mengenai karakteristik responden yang meliputi umur,jenis kelamin dan pendidikan.
b. Mengetahui gambaran mengenai pengetahuan,sikap dan kepatuhan menelan obat pad penderita malaria.
c. Mengenai hubungan antara pengetahuan dengan kepatuhan menelan obat pada penderita malaria.
d. Mengenai hubungan antara sikap dengan kepatuhan menelan obat pada penderita malaria.

D. Manfaat Penilitian
1. Bagi Akademik
Sebagai tambahan literatur bagi mahasiswa lain dalam melakukan penelitian selanjutnya.
2. Bagi Akademik
Dapat memberikan informasi kepada Puskesmas mengenai ganbaran pengetahuan dan sikap tentang tentang malaria serta hubungannya dengan kepatuhan menelan obat
3. Bagian Masyarakat
Dapat memberikan informasi tentang ada tidaknya hubungan antara pengetahuan dan sikap tentang malaria dengan kepatuhan menelan obat.
4. Bagi Peneliti
Sebagai pengenalan mengenai cara dan proses berpikir secara ilmia tentangn pengetahuan dan sikap dengan kepatuhan menelan obat.

E. Keaslian Penelitian
Pada penelitian terdahulu yang dilakukan oleh :
1. Nama : -
Judul : Faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan menelan obat pada penderita malaria di desa Marden Kecamatan Prembun Kabupaten Kebumen tahun 2001.
Metode : Cross sectional
Hasil : 
  1. Tidak ada hubungan antara cara minum obat antara cara minum obat dengan kepatuhan menelan obat pada penderita malaria.
  2. Tidak ada hubungan antara efek samping obat dengan kepatuhan menelan obat pada penderita malaria.
  3. Tidak ada hubungan antara jumlah obat dengan kepatuhan menelan obat pada penderita malaria.
  4. Tidak ada hubungan antara pemahaman instruksi pengobatan dengan kepatuhan menelan obat pada penderita malaria.
2. Nama : -
Judul : Hubungan antara pengetahuan dan sikap tentang malaria dengan kepatuhan menelan obat pada
penderita malaria di Puskesmas Moyong I Jepara.

Metode : Cross sectional
Hasil : 
  1. Ada kaitan yang bermakna antara pengetahuan, sikap, dan fasilitas pelayanan kesehatan dengan praktik Pencengahan dan pengobatan penyakit malaria.
  2. Tidakada hubungan yaneg bermakna antara biaya dengan praktik pencegahan dan pengobatan penyakit malaria.
 Perbedaan penelitian sebelumnya dengan yang akan dilakukan peneliti adalah :
1. Waktu dan tempat penelitian,
2. Jumlah sampel yang di gunakan.

F. Lingkup Penelitian
1. Lingkup keilmuan
Bidang yang di teliti adalah Ilmu Kesehatan Masyarakat khususnya di bidang Epidemiologi Lapangan.

2. Lingkup Materi
Dalam penelitian ini masalah yang dibahas adalah tentang penyakit menular di bidang Epidemiologi.

3. Lingkup Lokasi
Penelitian ini akan dilaksanakan di Puskesmas Kiiwirok-Papua.

4. Lingkup Metode
Metode yang di gunakan dalam penelitian ini adalah analitik dengan menggunakan Cross sectional dan pengumpulan data perilaku dengan Wawancara.

5. Lingkup Sasaran
Yang menjadi sasaran dalam penelitian ini adalah semua penderita malaria klinis yang tercatat di Puskesmas Kiwirok.

6. Lingkup Waktu
Penelitian ini akan dilaksanakan selama 2 (dua) bulan,April dan Mei 2009.

ORDER: PO KESEHATAN 001
READ MORE - Pengetahuan Dan Sikap Tentang Malaria

Wednesday, June 9, 2010

PENGARUH IBU YANG BEKERJA TERHADAP STATUS GIZI ANAK BALITA

PENGARUH IBU YANG BEKERJA TERHADAP STATUS GIZI ANAK BALITA DI KELURAHAN MANGUNJIWAN KABUPATEN DEMAK

BAB I
PENDAHULUAN

A. Alasan Pemilihan Judul
Kesehatan merupakan hak dasar manusia dan merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan kualitas Sumber Daya Manusia, disamping juga merupakan karunia Tuhan yang perlu disyukuri. Oleh karena itu kesehatan perlu dipelihara dan ditingkatkan kualitasnya serta dilindungi dari ancaman yang merugikannya. Hari depan bangsa Indonesia tergantung pada mutu dan kesehatan bayi dan anak. Karena kesehatan bayi dan anak ini sebagai fondasi pembangunan Indonesia di masa yang akan datang. Dan dengan kesehatan bayi dan anak dapat menggambarkan kesehatan masyarakat secara umum. 

Masa balita merupakan fase terpenting dalam membangun fondasi pertumbuhan dan perkembangan manusia. Pertumbuhan anak dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal berasal dari genetik sedangkan faktor eksternal yaitu status gizi pada masa balita. Anak balita ini merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan badan yang pesat, sehingga memerlukan zat gizi yang tinggi setiap kg berat badannya (Dina Agoes Sulistijani dan Maria Poppy Herlianty, 2003: 3). Pertumbuhan dan perkembangan anak merupakan suatu proses yang saling terkait dan tidak dapat dipisahkan, namun keduanya dapat dibedakan. Istilah pertumbuhan merupakan peristiwa bertambahnya ukuran fisik dan struktural tubuh, sedangkan istilah perkembangan merupakan peristiwa bertambahnya kemampuan dalam struktur dan fungsi tubuh. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan mempunyai dampak terhadap aspek fisik sedangkan perkembangan berkaitan dengan pematangan fungsi organ atau individu (Soetjiningsih, 1998: 1) 

Pertumbuhan seorang anak bukan hanya sekedar gambaran perubahan berat badan, tinggi badan atau ukuran tubuh lainnya, tetapi lebih dari itu memberikan gambaran tentang keseimbangan antara asupan dan kebutuhan zat gizi seorang anak yang sedang dalam proses tumbuh. Makanan memegang peranan penting dalam tumbuh kembang anak, kebutuhan makan anak berbeda dengan kebutuhan makan orang dewasa, karena makanan bagi anak dibutuhkan juga untuk pertumbuhan, dimana dipengaruhi oleh ketahanan makanan (food security) keluarga.

Dari data yang diperoleh dari Widyakarya Nasional Pangan & Gizi VII (2000: : 159), bahwa beberapa wilayah masalah ketahanan pangan tingkat rumah tangga terdeteksi dari masalah tingginya prevalensi rumah tangga dengan defisit energi dan protein. Antara 23-35% rumah tangga masih mengkonsumsi kurang dari 32 gram protein per kapita per hari semenjak tahun 1995. Antara 43-50% rumah tangga masih mengkonsumsi energi kurang dari 1500 kkal.

Kesehatan dan gizi merupakan faktor yang sangat penting untuk menjaga kualitas hidup yang optimal. Konsumsi makanan berpengaruh dengan status gizi seseorang. Pada umumnya masalah gizi disebabkan oleh faktor primer dan atau sekunder. Faktor primer antara lain karena asupan seseorang yang kurang baik pada kuantitas atau kualitas yang disebabkan oleh karena kemiskinan, ketidaktahuan tentang gizi dan kebiasaan makan yang salah. Faktor sekunder meliputi semua faktor yang mempengaruhi asupan makanan, pencernaan, penyerapan dan metabolisme zat gizi. Hal ini menyebabkan zat-zat gizi tidak sampai di sel-sel tubuh setelah makanan dikonsumsi (Depkes, 2003: 1).

Keadaan gizi yang baik merupakan salah satu faktor penting dalam upaya mencapai derajat kesehatan yang optimal. Namun berbagai penyakit gangguan gizi dan gizi buruk akibat tidak baiknya mutu makanan maupun jumlah makanan yang tidak sesuai dengan kebutuhan tubuh masing-masing orang, masih sering ditemukan diberbagai tempat di Indonesia. Gangguan gizi ini menggambarkan suatu keadaan akibat ketidakseimbangan antara zat gizi yang masuk kedalam tubuh dengan kebutuhan tubuh akan zat gizi. Masalah gizi tersebut merupakan refleksi konsumsi energi dan zat-zat gizi lain yang belum optimal. Salah satu defisiensi gizi yang masih sering ditemukan di negara kita dan merupakan masalah gizi utama khususnya yang terjadi pada balita yaitu KEP (Kurang Energi Protein). KEP ini adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari sehingga tidak memenuhi angka kecukupan gizi.

Pada masa bayi dan balita, orang tua harus selalu memperhatikan kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi oleh anak dengan membiasakan pola makan yang seimbang dan teratur setiap hari, sesuai dengan tingkat kecukupannya. Balita masih belum bisa mengurus dirinya sendiri dengan baik dan belum bisa berusaha mendapatkan sendiri apa yang diperlukannya untuk makanannya. Balita sangat tergantung pada ibu atau pengasuhnya dalam memenuhi kebutuhannya. Pada ibu yang bekerja biasanya anak balita lebih cepat disapih. Penyapihan yang lebih dini akan berakibat negatif terhadap status gizi anak apabila makanan anak disapih tidak diperhatikan (Suhardjo, 2003: 14)

Pada masa sekarang ini ibu tidak hanya berperan sebagai orang yang mengurus keadaan rumah atau hanya mengurus anak-anak, tetapi ibu juga mempunyai kegiatan diluar rumah dengan tujuan untuk mencari nafkah atau mendapatkan penghasilan. Apabila ibu bekerja, tanggung jawab anak diserahkan kepada pengasuh anak maupun keluarga yang lain, orang yang diserahi tanggung jawab ini belum tentu mempunyai pengalaman dan keterampilan untuk mengurus anak. Pada keadaan seperti ini dikhawatirkan anak balita akan menjadi terlantar karena kurang mendapatkan perawatan dan perhatian dari pengasuhnya serta tidak terpenuhinya kecukupan makanan yang dianjurkan. Pola konsumsi makanan sehari-hari akan mempengaruhi berat badan sebagai gambaran status gizi anak balita.

Kelurahan Mangunjiwan merupakan salah satu wilayah yang ada di Kabupaten Demak. Kelurahan Mangunjiwan ini termasuk dalam wilayah kerja Puskesmas Demak III. Terdiri dari 1.529 KK yang terbagi dari 31 unit RT dan 7 unit RW. Sebagian besar penduduk bermata pencaharian sebagai karyawan. Jumlah balita yaitu 371 anak dengan status ibu yang bekerja dan ibu yang tidak bekerja. Dari data Puskesmas Demak III pada laporan tahunan 2004 status gizi anak balita di Kelurahan Mangunjiwan Kabupaten Demak diketahui bahwa anak balita dengan status gizi dalam kategori buruk tidak ada, status gizi dalam kategori kurang sebanyak 3,3 %, status gizi dalam kategori baik sebesar 96,6 % dan status gizi dalam kategori lebih sebanyak 0,16 %.

Berdasarkan uraian diatas, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul “Pengaruh Ibu yang Bekerja Terhadap Status Gizi Anak Balita di Kelurahan Mangunjiwan Kabupaten Demak tahun 2005

2.1 Permasalahan
Dengan alasan pemilihan judul tersebut, pada penelitian ini penulis akan mengambil suatu permasalahan yaitu apakah ada pengaruh antara pola konsumsi makan terhadap status gizi anak balita pada ibu yang bekerja di Kelurahan Mangunjiwan Kabupaten Demak tahun 2005 ?

1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan diadakan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh antara pola konsumsi makan terhadap status gizi anak balita pada ibu yang bekerja di Kelurahan Mangunjiwan Kabupaten Demak tahun 2005

1.4. Definisi Operasional
1.4.1 Status Gizi Menurut Sunita Atmatsier (2001: 3), status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi. Status gizi adalah keadaan tubuh yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan dan penggunaan makanan (Suhardjo. Dkk, 1986: 15).
Jadi yang dimaksud status gizi dalam penelitian ini adalah keadaan tubuh anak balita sebagai akibat dari konsumsi zat-zat gizi dan penggunaan dari zat-zat gizi tersebut.

1.4.2 Ibu yang Bekerja Ibu adalah wanita yang sudah bersuami, panggilan yang takzim kepada wanita
(W.J.S Poerwadarminta, 1987: 104) Bekerja adalah melakukan suatu pekerjaan (perbuatan), berbuat sesuatu (W.J.S Poerwadarminta, 1987: 428)
Jadi yang dimaksud ibu yang bekerja dalam penelitian ini adalah wanita yang telah bersuami dan mempunyai anak balita yang melakukan sesuatu aktivitas atau pekerja formal maupun tidak formal diluar rumah selama atau lebih dari enam jam dengan tujuan untuk mendapatkan penghasilan dan yang dimaksud ibu yang bekerja dalam penelitian ini yaitu sikap ibu dalam pemberian pola konsumsi makan pada anak balita dan pengetahuan gizi ibu terhadap anak balita.

1.5 Manfaat Penelitian
Manfaat diadakan penelitian ini adalah : 
  1. Memberikan pengalaman kepada mahasiswa dan mengaplikasikan ilmu dibangku kuliah dengan penelitian yang dilakukan di masyarakat. 
  2. Sebagai masukan bagi pengelola program gizi dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat khususnya status gizi anak balita. 
  3. Tambahan kepustakaan khususnya dalam ilmu kesehatan masyarakat.
PO KESEHATAN 005
READ MORE - PENGARUH IBU YANG BEKERJA TERHADAP STATUS GIZI ANAK BALITA

Keaktifan Kader Kegiatan Posyandu

Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Keaktifan Kader Kegiatan Posyandu Di Puskesmas Margorejo Kabupaten Pati

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Memasuki abad ke-21, Indonesia menghadapi berbagai perubahan dan tantangan strategis. Untuk bidang kesehatan diberlakukan paradigma baru pembangunan kesehatan, yaitu paradigma sehat, dengan visi Indonesia Sehat 2010 (1). Pembangunan kesehatan pada hakekatnya adalah penyelenggaraan kesehatan oleh bangsa Indonesia untuk mencapai kemampuan hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal sebagai salah satu unsur kesejahteraan umum dan tujuan sosial (2).

Adapun salah satu bentuk peran serta masyarakat adalah Posyandu (3). Posyandu sendiri adalah pusat kegiatan masyarakat , dimana masyarakat sekaligus dapat memperoleh pelayanan Keluarga Berencana dan Kesehatan (4). Selain itu posyandu dapat dimanfaatkan sebagai sarana untuk tukar pendapat dan pengalaman serta bermusyawarah untuk memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat. Secara operasional di desa/kelurahan upaya ini terutama dilakukan melalui kegiatan di Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu). Pelayanan di Posyandu ini pada hakekatnya dilaksanakan dengan cara membina masyarakat agar mereka dapat menolong dirinya sendiri dengan melaksanakan lima program prioritas yaitu meliputi pelayanan kesehatan ibu dan anak (KIA), pelayanan Keluarga Berencana (KB), pelayanan gizi, pelayanan imunisasi dan penanggulangan diare. Dalam penyelenggaran posyandu kader memegang peranan penting, baik yang mengenai semua rencana kegiatan hari buka posyandu. Sebagai bentuk peran serta masyarakat yang diselenggarakan oleh para kader sukarelawan di desa-desa, maka kegiatan administratif seperti pencatatan dan pelaporan yang tertib umumnya tidak dapat diharapkan seperti pada instansi struktural yang resmi (3). 

Berbagai keterbatasan yang meliputi sumber daya, kemampuan dan ketrampilan baik dari pihak puskesmas maupun para kader serta peran serta masyarakat merupakan hambatan pada pelaksanaan kegiatan posyandu (5). Keaktifan kader dapat membantu berkembangnya suatu posyandu. Indikator keberhasilan keaktifan kader dapat dilihat dari beberapa cakupan kegiatan yaitu K/S, D/S, D/K, N/D, N/S. Apabila pencapaian kegiatan berhasil maka dapat dikatakan kader yang bertugas di posyandu aktif. Keberhasilan pencapaian cakupan ini merupakan usaha untuk meningkatkan posyandu (5).

Berdasarkan data Kabupaten dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2009 di Pati menunjukan bahwa Pati, menempati peringkat ke-10 dalam banyaknya sarana kesehatan pada tahun 2008 dari 21 Kecamatan yang berada di Kabupaten Pati (6). Perkembangan posyandu di Pati dibagi menjadi empat yaitu posyandu pratama sebanyak 98, posyandu madya sebanyak 617, posyandu purnama sebanyak 639 dan posyandu mandiri sebanyak 198. Data ini menunjukkan bahwa jumlah posyandu mandiri lebih sedikit dibandingkan dari posyandu madya dan purnama bisa dikatakan kader di Pati kurang aktif. Salah satu puskesmas di Kecamatan Pati adalah Puskesmas Margorejo, data sekunder yang didapat dari Puskesmas Margorejo berupa laporan bulanan menunjukan bahwa terdapat beberapa kegitan yang belum berhasil pencapaiannya dari target yang telah ditentukan oleh Puskesmas. Pada laporan bulanan selama 3 bulan terakir September, Oktober, November tahun 2009 menunjukkan persentase dari 18 desa D/S yang terkecil 22,73 % dan terbesar adalah 74,3 % sedangkan cakupan keberhasilannya adalah 86% disamping itu kegiatan N/D dari laporan bulanan selama 3 bulan terakhir September, Oktober, November tahun 2009 menunjukkan persentase dari 18 desa adalah kegiatan N/D terkecil 27,43 % dan terbesar 93,48 % sedangkan cakupan keberhasilannya adalah 95% (7). Di samping itu dari hasil survei awal didapat keterangan bahwa kader kurang melakukan penyuluhan karena kurang mendapatkan insentif yang cukup. Juga oleh karena adanya larangan suami jika ibu terlalu melakukan kunjungan kerumah - rumah masyarakat dapat mengakibatkan anaknya terbengkalai. Kader juga jarang datang ke puskesmas pada hari dan tanggal yang telah ditentukan untuk pertemuan para kader, dan tidak melaporkan setiap kegiatan di posyandu yang menjadi cakupan wilayah kerjanya (7). 

Hal ini menunjukkan beberapa program dari Puskesmas Margorejo yaitu D/S dan N/S kurang berhasil. Keberhasilan posyandu tidak terlepas dari keaktifan kader baik pada saat kegiatan di dalam posyandu (penimbangan, pencatatan di kartu KMS, imunisasi, pelayanan KB, KIA) maupun kegiatan di luar posyandu (penyuluhan dan kunjungan ke rumah warga). Menurut Snehandu B. Karr terdapat 5 determinan perilaku yaitu : niat, dukungan dari masyarakat, terjangkaunya informasi, otonomi atau kebebasan pribadi dalam mengambil keputusan dan kondisi dan situasi yang memungkinkan (8). Peneletian ini hanya menggunakan 3 variabel dari teori Snehendu yaitu dukungan dari masyarakat karena di desa yang menjadi cakupan wilayah kerja Puskesmas Margorejo sangat tergantung dari dukungan masyarakat seperti keluarga, perangkat desa, ketua PKK dan tokoh agama karena mereka sangat dipandang dan mereka adalah panutan warga. Menggunakan variabel otonomi atau kebebasan pribadi untuk mengambil keputusan karena dalam mengambil keputusan menjadi kader tidak boleh mendapat paksaan dari siapapun karena dapat membuat kader itu tidah sungguh-sungguh dalam menjalankan tugasnya bahkan bisa mengundurkan diri atau tidak aktif. Menggunakan variabel kondisi dan situasi yang memungkinkan karena petugas kader tidak hanya bekerja sebagai kader saja tetapi ada yang bekerja sebagai PNS, wiraswasta, dan petani, sehingga membutuhkan waktu yang cukup untuk aktif dalam kegiatan posyandu di samping itu jarak posyandu dengan rumah warga juga menentukan karena jarak yang jauh membuat warga malas untuk datang. Untuk itu peneliti tertarik dan mengambil judul “ Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Keaktifan Kader Kegiatan Posyandu Di Puskesmas Margorejo Kabupaten Pati”.

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut yang telah diuraikan diatas maka masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah faktor apa saja yang berhubungan dengan keaktifan kader dalam kegiatan posyandu di Puskesmas Margorejo Kabupaten Pati tahun 2009?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan keaktifan kader dalam kegiatan posyandu di Puskesmas Margorejo Kabupaten Pati tahun 2009.

2. Tujuan Khusus
  1. Mengetahui hubungan dukungan dari masyarakat sekitarnya dengan keaktifan kader dalam kegiatan posyandu.
  2. Mengetahui hubungan adanya otonomi atau kebebasan pribadi untuk mengambil keputusan dengan keaktifan kader dalam kegiatan posyandu.
  3. Mengetahui hubungan kondisi dan situasi yang memungkinkan dengan keaktifan kader dalam kegiatan posyandu.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Keilmuan
Memberikan masukan dan informasi yang di perlukan sebagai bahan pustaka untuk pengembangan selanjutnya dan dapat memperkaya bidang keilmuan khusunya di bidang Ilmu Kesehatan Masyarakat dengan peminatan Manajemen Kesehatan.

2. Bagi Program
Sebagai bahan masukan dan informasi bagi pengelola program dari puskesmas dan upaya yang harus di lakukan kader agar tetap aktif dalam rangka mengelola, membina dan meningkatkan posyandu.

3. Bagi Masyarakat
Mendapatkan pelayanan dari kader yang lebih optimal dengan meningkatnya keaktifan kader.

PO KESEHATAN 004
READ MORE - Keaktifan Kader Kegiatan Posyandu

Friday, May 14, 2010

HUBUNGAN FUNGSI KOORDINASI DAN PENGAWASAN

HUBUNGAN FUNGSI KOORDINASI DAN PENGAWASAN DENGAN KETEPATAN WAKTU LAPORAN IMUNISASI BULANAN DI KABUPATEN BANJARNEGARA
TAHUN 2010

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam rangka mewujudkan Indonesia Sehat 2010 menurut UU no 23 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU no. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, memberikan kewenangan yang luas dan bertanggung jawab kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah. Sebagai instansi penentu kebijakan di tingkat kabupaten maka Dinas Kesehatan Kabupaten dapat menetapkan sendiri prioritas masalah-masalah kesehatan yang ada di daerahnya, serta dapat melakukan langkah-langkah pembangunan sesuai dengan kemampuan daerah sendiri.1) 

Pembangunan upaya kesehatan masyarakat yang dilakukan di seluruh pelosok tanah air menitik beratkan pada upaya kesehatan melalui pelayanan kesehatan dasar yaitu keberadaan puskesmas, puskesmas dengan tempat tidur, puskesmas pembantu (pustu), puskesmas keliling (pusling), poliklinik bersalin desa (polindes) dengan bidan desanya.3) Dalam rangka menyelenggarakan upaya kesehatan, puskesmas merupakan unit pelayanan terdepan yang dapat menjangkau langsung pada masyarakat. Puskesmas tidak hanya sebagai pemberi pelayanan kesehatan saja, namun juga melaksanakan berbagai upaya kesehatan meliputi program pembangunan kesehatan masyarakat baik promotif, preventif maupun rehabilitatif.2) 

Imunisasi merupakan salah satu upaya pelayanan kesehatan dasar yang memegang peranan dalam menurunkan angka kematian bayi dan ibu. Upaya pelayanan program imunisasi dilakukan melalui kegiatan imunisasi rutin dan tambahan dengan tujuan untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I). 3) Tujuan tersebut dapat tercapai apabila ditunjang dengan sumber daya manusia yang berkualitas dan ketersediaan standar, pedoman, sistem pencatatan-pelaporan serta logistik yang memadai dan bermutu. 

Imunisasi rutin adalah kegiatan imunisasi yang secara rutin dan terus menerus harus dilaksanakan pada periode waktu yang telah ditetapkan. Berdasarkan kelompok usia sasaran, imunisasi rutin dibagi menjadi Imunisasi rutin pada bayi, wanita usia subur, dan pada anak sekolah. Pada kegiatan imunisasi rutin terdapat kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk melengkapi imunisasi rutin pada bayi dan wanita usia subur (WUS) seperti kegiatan sweeping pada bayi dan kegiatan akselerasi Maternal Neonatal Tetanus Elimination (MNTE) pada WUS.3)
Semua kegiatan program imunisasi yang telah dilakukan harus dicatat dan dilaporkan kepada atasan. Pencatatan pelaporan imunisasi adalah pencatatan dan pelaporan data program imunisasi, meliputi : hasil cakupan imunisasi, data logistik, data inventarisasi peralatan imunisasi dan kasus diduga KIPI atau KIPI. Pelaporan dilakukan oleh setiap unit yang melakukan kegiatan imunisasi, mulai dari posyandu, poskesdes, puskesmas pembantu, puskesmas, rumah sakit, unit pelayanan swasta (bidan/dokter praktek, rumah bersalin) kepada puskesmas. Pencatatan dan pelaporan ini menggunakan format-format standard dan dapat terpadu dengan format-format dari program terkait serta dilaporkan secara lengkap dan tepat waktu, sehingga dapat bermanfaat untuk ditindaklanjuti segera.4)

Mekanisme pelaporan dan batas waktu pelaporan imunisasi bulanan puskesmas dilakukan setiap bulan dan paling lambat dikirim ke Dinas Kesehatan Kabupaten tanggal 5 pada bulan berikutnya.2) Laporan dari masing-masing pelaksana program dan puskesmas pembantu kepada koordinator imunisasi di tingkat puskesmas paling lambat sudah diterima pada tanggal 2 bulan berikutnya dari bulan laporan.

Henry Fayol membagi fungsi manajemen menjadi Planning, Organizing, Commanding, Coordinating, dan Controlling.5) Untuk mencapai laporan yang tepat waktu, dibutuhkan fungsi manajemen untuk mengatur semua kegiatan didalamnya. Fungsi manajemen ini berguna untuk mengkoordinasikan semua kegiatan manajerial. Fungsi manajemen dapat membantu Koordinator program imunisasi Puskesmas untuk membuat laporan imunisasi bulanan dengan tepat waktu. Pelaporan yang tepat waktu dapat digunakan untuk pengambilan kebijakan dan analisa perbaikan serta perencanaan pada program selanjutnya. Untuk mencapai tujuan tersebut dibutuhkan fungsi manajemen yang baik dan teratur. 

Sesuai hasil observasi penulis pada rekapitulasi Laporan Imunisasi bulanan dari Puskesmas di Dinas Kesehatan Kabupaten Banjarnegara selama tahun 2009, ternyata terjadi keterlambatan laporan imunisasi bulanan dari Puskesmas. Berdasarkan data yang diperoleh, persentase kumulatif ketepatan waktu laporan hanya mencapai 52,6% dari target 100%. Dari 35 Puskesmas di Kabupaten Banjarnegara yang wajib mengumpulkan laporan imunisasi bulanan, jumlah laporan yang terlambat pada bulan Oktober terdapat 15 laporan, bulan November terdapat 9 laporan dan pada bulan Desember terdapat 20 laporan. Dari jumlah tersebut maka dapat dihitung persentase keterlambatan laporan imunisasi bulanan pada bulan Oktober – Desember 2009 berturut-turut sebesar 42,9%, 25,7% dan 57,1% dari target keterlambatan laporan sebesar 0%. Sedangkan rata-rata hari keterlambatan mencapai 4-5 hari.

Berdasarkan kegiatan survei awal dalam wawancara yang dilakukan dengan beberapa Koordinator imunisasi dan pemegang program di Dinas Kesehatan Kabupaten Banjarnegara, ada beberapa hal yang membuat laporan imunisasi bulanan menjadi terlambat. Beberapa diantaranya kurangnya komunikasi dan longgarnya pengawasan dari atasan yang diduga menjadi penyebab terjadinya keterlambatan laporan imunisasi bulanan. 

Pihak Dinas Kesehatan Kabupaten Banjarnegara sering mengadakan pertemuan bagi seluruh koordinator Puskesmas di Dinas Kesehatan Kabupaten Banjarnegara. Pertemuan tersebut dimaksudkan untuk menginformasikan berita terbaru seputar program imunisasi. Namun sering kali informasi tersebut tidak sampai kepada para bidan desa atau pelaksana imunisasi di tingkat Puskesmas. Menurut informasi dari salah satu Koordinator Imunisasi di Puskesmas, dalam pertemuan rutin yang dilaksanakan oleh Puskesmas, ternyata banyak bidan desa yang sering kali tidak menghadiri pertemuan karena berbagai sebab. Karena ketidakhadiran bidan desa dalam pertemuan rutin Puskesmas tersebut, pada akhirnya koordinasi diantara mereka menjadi berkurang. Hal ini yang sering kali menjadikan laporan imunisasi bulanan puskesmas menjadi terlambat.

Pengawasan yang longgar dan tidak adanya sanksi dari atasan menjadikan keterlambatan laporan imunisasi menjadi bukan sesuatu yang penting. Koordinator imunisasi Puskesmas telah melakukan upaya penagihan laporan yang belum masuk dengan menggunakan SMS kepada para bidan desa sebagai pelaksana kegiatan imunisasi. Tetapi terkadang upaya tersebut kurang berhasil karena sifat bidan desa yang kurang menaati aturan. Menurut salah satu Koordinator Imunisasi di Puskesmas, tidak adanya sanksi atau hukuman yang berarti untuk keterlambatan laporan menyebabkan para bidan desa menjadi mengabaikan dan tidak terlalu mementingkan ketepatan waktu pelaporan. Laporan dari para bidan desa yang terlambat masuk menjadikan Koordinator imunisasi Puskesmas terhambat untuk melakukan entry data dan menyebabkan pelaporan ke Dinas Kesehatan juga menjadi terlambat. 

Beberapa hal tersebut di atas pada akhirnya juga akan mempengaruhi pelaporan imunisasi bulanan dari Dinas Kesehatan Kabupaten Banjarnegara ke Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah. Laporan dari Puskesmas yang terlambat, menyebabkan laporan imunisasi bulanan ke Dinas Kesehatan Propinsi juga menjadi terlambat. Pada saat ini, berdasarkan umpan balik hasil imunisasi rutin sampai dengan triwulan 2 (Januari – Juni 2009), prosentase ketepatan waktu laporan imunisasi Dinas Kesehatan Kabupaten Banjarnegara hanya mencapai 16,7% dari target 100%. Rendahnya nilai prosentase ini disebabkan karena Dinas Kesehatan Kabupaten Banjarnegara harus menunggu laporan dari semua Puskesmas masuk untuk di entry dan dilaporkan ke Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah. Keterlambatan ini tentu saja menjadikan citra prestasi dan kinerja Dinas Kesehatan Kabupaten Banjarnegara menjadi buruk.

Dengan keadaan seperti itu, maka diharapkan setiap petugas pencatatan dan pelaporan laporan imunisasi Puskesmas harus mulai memperhatikan ketepatan waktu dalam melaporkan hasil imunisasi bulanan. Sehingga peneliti ingin meneliti hubungan fungsi koordinasi dan pengawasan dengan ketepatan waktu laporan imunisasi bulanan Kabupaten Banjarnegara.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan masalah tersebut maka penulis merumuskan masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah ada hubungan fungsi koordinasi dan pengawasan dengan ketepatan waktu laporan imunisasi bulanan di Kabupaten Banjarnegara?”

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui hubungan fungsi koordinasi dan pengawasan dengan ketepatan waktu laporan imunisasi bulanan di Kabupaten Banjarnegara tahun 2010.
2. Tujuan Khusus
a. Mendeskripsikan fungsi koordinasi dalam kegiatan pelaporan imunisasi bulanan.
b. Mendeskripsikan fungsi pengawasan dalam kegiatan pelaporan imunisasi bulanan.
c. Mendeskripsikan ketepatan waktu laporan imunisasi bulanan Puskesmas.
d. Mengetahui hubungan antara fungsi koordinasi dengan ketepatan waktu laporan imunisasi bulanan.
e. Mengetahui hubungan antara fungsi pengawasan dengan ketepatan waktu laporan imunisasi bulanan.

D. Manfaat Penelitian
Dengan dilaksanakannya penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi :
1. Bagi Keilmuan
Menambah pengetahuan dalam melakukan kajian ilmiah serta mengetahui informasi mengenai hubungan fungsi koordinasi dan pengawasan dengan ketepatan waktu laporan imunisasi bulanan Puskesmas.

2. Bagi Program
Memberikan informasi yang menjadi salah satu masukan dalam upaya meningkatkan sistem pengelolaan laporan imunisasi bulanan Puskesmas.

3. Bagi Masyarakat
Memberikan informasi yang dapat digunakan dalam pengembangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu kesehatan masyarakat.

PO KESEHATAN 003
READ MORE - HUBUNGAN FUNGSI KOORDINASI DAN PENGAWASAN

Cari Skripsi, Artikel, Makalah, Anti Virus

Custom Search