MAKALAH URBANISASI
PERPINDAHAN DARI DESA KE KOTA
PENDAHULUAN
Penetrasi pembangunan yang cepat di
kota-kota di Indonesia memberikan dampak luas terhadap kota itu sendiri maupun wilayah pinggirannya. Konsekuensi paling logis adalah meningkatnya urbanisasi yang disertai dengan laju
pertumbuhan penduduk perkotaan, baik secara alamiah maupun
migrasi penduduk desa ke kota. Dampak lainnya adalah alih guna lahan perdesaan menjadi perkotaan karena adanya peningkatan kebutuhan ruang untuk aktivitas kota. Disamping itu, terdapat keterbatasan supply ruang perkotaan terutama di pusat kota yang justru memiliki intensitas penggunaan lahan paling tinggi. Akibatnya penduduk perkotaan mengalami kesulitan mendapatkan lahan untuk beraktivitas, salah satu contohnya adalah aktivitas permukiman. Hal ini menyebabkan beralihnya fungsi lahan terbuka dan pertanian yang ada di pinggiran kota menjadi fungsi permukiman. Bila hal ini berlangsung treus menerus, maka akan mengakibatkan terjadinya perluasan kota yang tidak terencana, yang tentu saja akan memebrikan dampak lebih lanjut terhadap kondisi perkotaan. Seperti terjadinya penurunan kualitas lingkungan, banjir, kemacetan, dan sebagainya. Berikut ini akan diuraikan
fenomena urbanisasi dan sub urbanisasi di Semarang.
Permasalahan
Urbanisasi selalu dikaitkan dengan adanya kegiatan “pengkotaan” suatu kawasan atau wilayah. Banyak indikator yang bisa digunakan untuk melihat apakah di suatu kawasan terjadi fenomena urbanisasi atau tidak, salah satunya adalah dengan melihat perkembangan penduduk, baik dari segi pertumbuhan maupun dari segi sosial ekonominya. Adanya perkembangan penduduk akan mendorong aktivitas-aktivitas lain yang merupakan bentuk pemenuhan kebutuhan penduduk itu sendiri seperti perumahan, kegiatan perdagangan dan jasa serta fasilitas dan utilitas, atau sebaliknya. Sehingga berakibat pada kawasan tersebut seperti tumbuhnya ruang-ruang perkotaan baru yang merupakan wadah aktivitas masyarakat.
PEMBAHASAN
A. Perkembangan Tingkat Urbanisasi dan Migrasi Penduduk Kota
Di Kota Semarang, fenomena urbanisasi yang terjadi dapat ditunjukkan dari kondisi pertambahan migrasi penduduk pada tahun 1990-2001. Tabel di bawah ini menunjukkan adanya gejala pergeseran penduduk kota dari CBD ke sub-urban karena faktor-faktor yang kurang mendukung bagi penduduk untuk tinggal nyaman di pusat Metropolitan Semarang.
Secara keseluruhan kondisi tersebut terjadi karena adanya penggunaan lahan secara besar-besaran sebagai kawasan permukiman, hal ini dipicu oleh harga lahan yang relatif murah dibandingkan dengan kawasan di pusat Kota Semarang. Selain itu, adanya beberapa peruntukan lahan sebagai aktivitas industri di pinggiran Kota Semarang juga mendorong proses urbanisasi di pinggiran Kota Semarang seperti di Kecamatan Ngaliyan, yang tumbuh pesat akibat kegiatan industri di Kecamatan Tugu, atau Kecamatan Sayung yang juga berkembang akibat adanya kegiatan industri di Kecamatan Genuk.
B. Perkembangan Aktivitas Ekonomi Perkotaan
Karakteristik urbanisasi di Kawasan Metropolitan Semarang selain dipengaruhi oleh pertumbuhan penduduk perkotaan, juga dipengaruhi oleh perkembangan aktivitas ekonomi perkotaan. Adapun salah satu yang termasuk dalam ekonomi perkotaan ini adalah aktivitas industri, perdagangan dan jasa. Dari ketiga sektor ekonomi tersebut, selama tahun 1988 hingga 1998 (10 tahun) tingkat pertumbuhan tertinggi berada pada sektor jasa yakni sebesar 29,06%, lalu disusul sektor industri dan perdagangan berturut-turut 22,46% dan 24,27%.
Ketiga sektor tersebut secara signifikan telah memberikan pengaruh terhadap perkembangan urbanisasi di Metropolitan Semarang. Kegiatan industri sangat erat kaitannya dengan jumlah tenaga kerja dimana adanya kegiatan industri yang menimbulkan bangkitan penduduk baik yang bersifat tetap (migrasi) maupun ulang-alik (commuter) untuk bekerja dan atau menetap di sekitar kawasan industri. Sedangkan untuk kegiatan perdagangan dan jasa, perkembangannya lebih banyak dipengaruhi oleh ketersediaan sarana dan prasarana terutama sekali jaringan jalan. Pada umumnya kegiatan perdagangan dan jasa, selain yang berada di pusat Kota Semarang juga berkembang di sepanjang jalan utama di pinggiran Kota Semarang. Kondisi ini pada taraf lebih lanjut akan mendorong perkembangan aktivitas penduduk seperti perumahan, pendidikan, perkantoran atau jasa.
Faktor lain yang juga berpengaruh pada perkembangan ekonomi perkotaan adalah perkembangan nilai investasi PMA dan PMDN di Kota Semarang. Pada tahun 2001-2002, nilai investasi di Kota Semarang lebih didominasi oleh PMA. Ini menunjukkan tingginya nilai investasi ke Kota Semarang, yang berarti akan semakin tinggi pula konsentrasi aktivitas ekonomi di Kota Semarang sebagai kawasan metropolitan.
C. Dampak-dampak yang Timbul
Adapun dampak-dampak yang timbul akibat terjadinya fenomena urbanisasi di Kawasan Metropolitan Semarang adalah sebagai berikut:
a) Struktur Ruang dan Pemanfaatan Lahan Yang Tidak Terencana
b) Penurunan Kualitas Pelayanan Infrastruktur
c) Keterbatasan Daya Dukung Lingkungan untuk Kawasan Terbangun
D. Pinggiran Semarang
Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa Metropolitan Semarang adalah Kota Semarang yang memiliki penduduk 1.322.320 Jiwa (> 1 Juta Jiwa) termasuk didalamnya kecamatan-kecamatan yang secara administratif berada di dalam wilayahnya. Sedangkan wilayah pinggirannya adalah wilayah yang berbatasan langsung baik secara administratif maupun adanya keterkaitan teknis perkembangan sistem kota-kota terhadap Kota Semarang. Wilayah belakang tersebut antara lain Kecamatan Boja dan Kecamatan Kaliwungu (Kab. Kendal), Kecamatan Sayung, Mranggen, dan Karangawen (Kab. Demak), Kecamatan Ungaran, Bergas, dan Pringapus (Kab. Semarang).
Pengambilan wilayah pinggiran Metropolitan Semarang seperti di atas adalah atas pertimbangan kemudahan dalam penyusunan program-progran pembangunan yang akan dilaksanakan secara terpadu.
E. Karakteristik Sub-Urbanisasi
a. Tingkat Pertumbuhan dan Kepadatan Penduduk
Pertumbuhan dan kepadatan penduduk tertinggi di wilayah pinggiran Kota Semarang, terdapat di IKK Mranggen masing-masing sebesar 5,01% dan 1.730 jiwa/km2, kawasan Mranggen didominasi dengan aktivitas industri. Secara keseluruhan, wilayah pinggiran Kawasan Metropolitan Semarang pada tahun 1999 – 2000, terjadi peningkatan pertumbuhan dan kepadatan penduduk terutama untuk wilayah Kabupaten Kendal dan Demak, yakni IKK Sayung, Karangawen, dan Boja.
Kecenderungan pengembangan pertumbuhan penduduk mengarah pada wilayah pinggiran kota sebagai akibat dari perluasan aktivitas kota. Pusat kota yang tidak lagi mampu menampung desakan jumlah penduduk memberikan dampak yang cukup serius terhadap wilayah dipinggirannya (sub-urban). Sehingga batasan urban dan sub-urban lama kelamaan menjadi bias dan bahkan tidak ada batasan lagi.
Pertambahan penduduk yang terus meningkat mengindikasikan bahwa perkembangan penduduk Kota Semarang menyebar kearah pinggiran kota (sub-urban) sehingga sebagai konsekuensinya adalah terjadi perubahan guna lahan perkotaan. Selain itu meningkatnya pertumbuhan penduduk di wilayah sub-urban seperti yang terjadi di Banyumanik, Tembalang atau lainnya menyebabkan kemajemukan aktivitas masyarakat. Dan lambat laun wilayah-wilayah tersebut menjadi kota satelit bagi Semarang seperti halnya Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi sebagai kota peyanggga aktifitas masyarakat Jakarta.
b. Perkembangan Perumahan Skala Besar
Perkembangan permukiman baru di wilayah pinggiran Metropolitan Semarang disebabkan berkurangnya daya dukung lingkungan permukiman di pusat Kota Semarang seperti kawasan yang secara fisik kurang atau tidak sesuai untuk kawasan terbangun. Hal tersebut diakibatkan karena kurangnya daya dukung lahan permukiman di pusat Kota Semarang, dan semakin tingginya harga lahan di pusat kota. Kondisi ini mendorong perkembangan perumahan skala besar yang siap bangun (siap huni) di wilayah pinggiran Kota Semarang.
Beberapa daerah di kawasan sub-urban Semarang yang memiliki karakteristik khusus untuk daerah perumahan, dapat dirincikan sebagai berikut :
Di Metropolitan Semarang pengembangan perumahan terbanyak adalah di Kecamatan Banyumanik dengan total luasan izin lokasi yang dimohon oleh 21 pengembang mencapai luas 384,67 ha. Disusul perumahan di Kecamatan Tembalang oleh 13 Pengembang dengan total luas izin lokasi 788,48 ha, kemudian pengembangan perumahan di Kecamatan Ngalian oleh 12 Pengembang dengan total luas izin lokasi 338,26 ha.
Daerah Tugu dan daerah Genuk, daerah ini persebaran perumahan cukup pesat karena ditunjang oleh aksesibilitas yang baik, namun pengembangan ke arah ini perlu diperhatikan mengingat fungsi utama daerah ini adalah sebagai lahan industri.
Perkembangan Kecamatan Mranggen yang cepat setelah adanya Perumahan Pucanggading dan Kecamatan Boja dengan adanya pembangunan Kota Baru Bukit Semarang Baru di Kecamatan Mijen.
Adapun dampak ikutan dari pembangunan kawasan perumahan Bukit Semarang Baru secara umum membawa implikasi positif dan negatif. Dampak positif yang muncul adalah peluang kerja bagi masyarakat setempat, peningkatan kualitas infrastruktur, sebagai indikator peningkatan kesejahtertaan masyarakat, serta peningkatan nilai lahan. Sedangkan implikasi negatif yang muncul diantaranya adalah tidak terkontrolnya pertumbuhan wilayah sub-urban, menyempitnya lahan pertanian, kepadatan lalu lintas, pengelompokan masyarakat desa, serta perubahan ekologi lingkungan.
Begitu juga hal pembangunan perumahan skala menengah dan besar di Kecamatan Tembalang meningkat seiring dengan laju pertumbuhan penduduk. Sesuai dengan peruntukan yaitu kawasan pendidikan tinggi dan permukiman kota maka hampir sebagian besar penggunaan lahan mengarah pada fungsi utama. Tetapi di beberapa pusat pertumbuhan seperti di Kelurahan Tembalang dan Bulusan, intensitas guna lahan mengarah kepada pengembangan kawasan pendidikan. Sehingga timbul permasalahan yang serupa dengan di Kecamatan Banyumanik yaitu berupa penguasaan lahan oleh pengembang skala menengah dan besar.
Jumlah pengembang yang terdapat di Kecamatan Banyumanik sebanyak 14 pengembang dengan jumlah ijin lokasi yang dimohon sebesar 592,63 Ha atau sebesar 28% dari luas permukiman di Kecamatan Tembalang atau 13% dari luas keseluruhan di Kecamatan Tembalang khususnya di daerah yang berada jauh dari pusat kota seperti Kelurahan Tandang, Sendang Mulyo, dan Sendang Guwo. Sedangkan mengetahui lebih lanjut mengenai perbandingan ijin lokasi yang diperoleh terhadap penggunaan lahan permukiman di Kecamatan Tembalang dapat dilihat pada tabel berikut:
Luas lahan yang dimiliki oleh para pengembang tersebut belum seluruhnya dibebaskan. Dari permintaan ijin lokasi seluas 592,63 ha, pihak pengembang baru dapat membebaskan lahan sekitar 373,8 ha atau sekitar 63% dari permohonan awal. Tanah yang telah dikuasai oleh pengembang sebagian besar baru dimatangkan saja tanpa dilakukan pembangunan secara fisik. Keterlambatan ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya karena ada keterbatasan modal. Sehingga pihak pengembang hanya dapat membangun lahannya untuk kawasan permukiman sebesar 58,27 ha atau sekitar 9,8% dari luas ijin lokasi yang dimohon. Jika hal tersebut dibandingkan dengan Kecamatan Banyumanik maka lahan yang telah dibebaskan oleh pengembang di Kecamatan Tembalang jumlahnya jauh lebih kecil dari Kecamatan Banyumanik. Kondisi ini menyebabkan banyaknya lahan tidur di Kecamatan Tembalang, yang pada akhirnya juga menjadi penyebab pelayanan fasilitas seperti telepon dan transportasi menjadi terbatas. Fenomena ini merupakan salah satu pemicu terjadinya perkotaan terpencar, di mana penduduk tidak dapat mendirikan bangunan di lahan tersebut karena lahan tersebut telah dikuasai oleh para pengembang.
c. Perkembangan Kawasan Industri
Pengembangan kegiatan industri di wilayah pinggiran Metropolitan Semarang terdapat di Kecamatan Sayung, Kaliwungu dan Ungaran. Adanya kegiatan industri tersebut ternyata berdampak terhadap perkembangan wilayah pinggiran Semarang, khususnya daerah-daerah yang merupakan lokasi kegiatan industri. Pada umumnya daerah-daerah yang merupakan lokasi industri mengalami transformasi penduduk dari masyarakat pedesaan menjadi masyarakat perkotaan yang lebih cepat dibanding daerah lain. Hal tersebut ditunjukkan oleh pertumbuhan penduduk di beberapa kecamatan di wilayah pinggiran Metropolitan Semarang yang cenderung meningkat sebagai indikasi perkembangan suatu wilayah kearah pinggiran perkotaan. Selain itu perkembangan wilayah pinggiran Metropolitan Semarang akibat kegiatan industri juga ditunjukkan oleh proporsi tenaga kerja sektor industri yang relatif besar dibandingkan sektor lain kecuali sektor pertanian.
d. Peningkatan Intensitas Pergerakan
Perkembangan daerah-daerah pinggiran Metropolitan Semarang baik dari aktivitas permukiman maupun industri menyebabkan terjadinya peningkatan intensitas pergerakan sehingga dapat menimbulkan kemacetan lalu lintas pada ruas-ruas jalan tertentu sebab terjadi peningkatan volume kendaraan pribadi. Selain itu, intensitas pergerakan juga meningkat pada kawasan-kawasan yang memiliki peruntukan lahan untuk kegiatan industri di Kecamatan Tugu, Genuk, Kaliwungu dan Sayung akibat penggunaan jalur transportasi bersama (jalur Pantura Jakarta – Surabaya) sehingga volume kendaraan yang lewat semakin meningkat.
Selain itu pembangunan jalur transportasi darat yang baru di Metropolitan Semarang mampu mendorong perkembangan wilayah di sekitarnya yang ditandai dengan adanya peningkatan intensitas pergerakan. Berikut ini adalah pembangunan prasarana jalan yang mempengaruhi perkembangan wilayah pinggiran Metropolitan Semarang:
- Arteri Primer yang menghubungkan Kota Semarang – Bawen – Yogyakarta serta Semarang – Bawen – Solo. Jalur ini merupakan jalur propinsi dengan intensitas pergerakan tertinggi. Menyebabkan perkembangan Kota Ungaran dan sekitarnya, selain akibat adanya kegiatan industri yang dialokasikan di sekitar Ungaran.
- Kolektor Primer, menghubungkan Kota Semarang – Purwodadi yang berpengaruh terhadap perkembangan Kota Mranggen sebagai daerah permukiman.
- Pembangunan Jalan Tol Semarang yang mehubungkan Jalan Sukun – Teuku Umar – Krapyak – Majapahit – Kaligawe yang menyebabkan perkembangan beberapa wilayah pinggiran di Metropolitan Semarang.
- Pembangunan beberapa jalan arteri seperti jalan arteri di daerah Pedurungan yang menyebabkan perkembangan Kecamatan Pedurungan menjadi lokasi permukiman.
Besarnya arus pergerakan manusia ditandai dengan seberapa besar tingkat ulak-alik (comutting) penduduk setempat dalam menjangkau aktifitas perkotaan. Seperti diketahui bahwa banyaknya permukiman di kawasan Banyumanik berdampak serius pada menjejalnya sistem aktifitas yang ada. Sementara ini penduduk Banyumanik yang notebene-nya adalah pendatang menyebabkan arus pergerakan lebih terkonsenrasi pada CBD (central business district) terdekat seperti Kota Semarang dan Ungaran, karena kedua kota ini merupakan tujuan aktifitas maupun tempat bekerja penduduk Banyumanik. Selain itu pergerakan aktifitas kawasan masih terkonsentrasi pada kawasan-kawasan strategis yang berada pada jalur transportasi dengan memanfaatkan potensi pasar.
F. 2 Pola Keruangan Perubahan Pemanfaatan Lahan
a) Intensitas Lahan Terbangun
Intensitas lahan terbangun di kawasan pinggir Kota Semarang pada tahun 2001 relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan lahan tidak terbangun. Kondisi lahan terbangun yang ada di wilayah pinggiran Kota Semarang sudah mencapai angka 30% kecuali di Karangawen, Kaliwungu dan Pringapus masih dibawah 20%. Pada kawasan yang lahan terbangunnya masih berada di bawah 20% secara riil masih memiliki kelonggaran dalam hal pendirian bangunan baru. Sementara pada kawasan yang memiliki prosentase lahan terbangun di atas 30% seperti di Mranggen, Boja, Sayung, Ungaran dan Bergas, kontrol terhadap pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang harus diperketat. Karena pada kawasan ini sebagian besar merupakan lahan persawahan sebagai salah satu basis sumber pangan Metropolitan Semarang.
Proporsi intensitas lahan terbangun paling besar adalah lahan permukiman dan perumahan. Lokasinya tersebar di Banyumanik dan Tembalang, dengan pola ruang yang tidak terstruktur dan bersifat sporadis.
b) Sebaran Fasilitas-Fasilitas Perkotaan
Sebaran fasilitas-fasilitas perkotaan pada umumnya masih terpusat di CBD Semarang. Pada Kawasan Sub-urban Kota Semarang sebaran fasilitas-fasilitas perkotaan sebagian besar berupa aktivitas industri, perumahan dan pendidikan. Wilayah pinggiran yang ditumbuhi kawasan industri paling banyak adalah di Kecamatan Sayung sepanjang Jalan Arteri Primer Semarang – Demak (Pantura). Selain itu di Kecamatan Tugu juga tak kalah pesatnya yaitu di sepanjang Jalan Arteri Primer Semarang – Kendal. Di selatan Kota Semarang pertumbuhan industri terdapat di sepanjang ruas jalan menuju Ungaran. Sedangkan untuk perumahan tumbuh dan berkembang di Ngalian sebagai dampak akan kebutuhan tempat tinggal bagi buruh industri yang ada di Kecamatan Tugu. Selain di Kecamatan Tugu, pengembangan perumahan juga tumbuh pesat di Kecamatan Banyumanik, yang menjawab kebutuhan tempat tinggal bagi pembukaan titik pertumbuhan baru yang dianggap cepat. Selain itu juga merupakan antisipasi kebutuhan akan perumahan bagi tumbuhnya pusat pendidikan tinggi yakni Kampus Baru UNDIP di Tembalang.
c) Sistem Jaringan Transportasi
Jaringan transportasi di pinggiran Metropolitan Semarang tidak terlepas dari sistem yang ada di dalam Kota Semarang sendiri. Akses ke luar Kota Semarang dihubungkan oleh 5 (lima) jalan arteri, empat diantaranya arteri primer yaitu: Jalan Semarang – Demak/Surabaya, Jalan Semarang – Kendal/Jakarta, Jalan Semarang – Purwodadi Jalan Semarang – Ungaran/Yogyakarta dan satu jalan arteri sekunder dari Semarang menuju arah Boja.
Di dalam Metropolitan Semarang sendiri terdapat Jalan Tol Semarang. Di sebelah barat berpangkal di Krapyak, sedangkan sebelah timur berawal di Kaligawe yang kedua-duanya bertemu di pintu tol Jatingaleh. Akhir dari tol ini adalah di Banyumanik selanjutnya menyebar atau terus ke Jalan Setiabudi langsung menuju Yogyakarta atau Solo.
Permasalahan yang muncul sehubungan dengan transportasi di pinggiran Metropolitan Semarang ini adalah kurang terkoordinirnya aktivitas angkutan perkotaan, dimana dibiarkannya mobil pribadi dijadikan angkutan umum. Permasalahan ini muncul akibat kurangnya moda transportasi yang ada di pinggiran kota. Selain itu masih banyak kawasan pinggiran yang belum tersentuh oleh jalur angkutan kota, maka muncul terminal ojek bagi warga yang membutuhkan dengan biaya cukup tinggi bila dibandingkan dengan angkutan kota.
G. Faktor-faktor Penyebab
Faktor-faktor yang mendorong terjadinya sub-urbanisasi di wilayah pinggiran Metropolitan Semarang antara lain:
- Harga Lahan Perkotaan yang Semakin Mahal dan Meningkatnya Penjualan Lahan di Kawasan Pinggiran Metropolitan Semarang.
- Pembangunan Kota Berbasis pada Perluasan Jaringan Transportasi
- Peningkatan Permintaan Perumahan bagi Masyarakat Golongan Menengah ke Atas.
H. Dampak-dampak yang Timbul
Dampak yang ditimbulkan dari sub-urbanisasi di wilayah pinggiran Metropolitan Semarang adalah sebagai berikut:
a) Peningkatan Kemacetan Lalu Lintas pada Pintu-pintu Masuk Kota
Perkembangan wilayah pinggiran yang tidak diimbangi dengan penyediaan fasilitas yang memadai mampu memberikan permasalahan tersendiri bagi kota induk salah satunya adalah kemacetan lalu lintas. Hal ini disebabkan penduduk di wilayah pinggiran sebagian besar aktivitasnya masih berlangsung di kota induk sehingga pada saat mereka akan melakukan aktivitasnya di kota secara bersamaan akan terjadi kemacetan lalu lintas akibat penumpukan kendaraan pribadi di pintu masuk kota. Hal ini dapat dilihat di salah satu wilayah pinggiran Metropolitan Semarang, yaitu Mranggen, dimana pada pagi dan sore hari terjadi kemacetan lalu lintas akibat penumpukan kendaraan pribadi (sepeda) maupun angkutan umum yang membawa penduduk Mranggen bekerja di Semarang.
Selain itu perkembangan Banyumanik yang membentuk sistem aktivitas kota mengakibatkan terjadinya perubahan guna lahan yang cenderung menyebar/meloncat (froging) sehingga tidak membentuk sistem fungsi lahan yang compact. Selain itu perkembangan sektor-sektor perdagangan, industri dan jasa di ruas jalan tersebut berdampak kepada terganggunya sistem transportasi wilayah. Salah satunya adalah kondisi kelas jalan sudah tidak mampu lagi menahan beban arus lalu lintas dan jenis kendaraan yang melintasinya. Adapun industri-industri yang berada pada ruas jalan tersebut diantaranya PT. Kubota Indonesia, PT. Yuwono Setiabudi, PT. Jamu Jago, PT. Mega Rubber Factory, dan lain-lain. Pengaruh yang tidak kalah penting adalah keberadaan Swalayan ADA dan pintu tol Banyumnaik dan Jatingaleh.
b) Perkembangan Kota yang Tidak Beraturan
Pertumbuhan penduduk yang tinggi menuntut adanya kebutuhan ruang kota guna mampu menampung aktivitas penduduk yang selalu berkembang. Di satu sisi perkembangan aktivitas penduduk kota mendorong perubahan dan perkembangan kebutuhan lahan dan ruang kota, sedangkan di sisi lain kebutuhan lahan kota yang terbatas menyebabkan pemenuhan kebutuhan akan ruang kota, salah satunya terpenuhi di wilayah pinggiran kota induk.
Seperti pertumbuhan penduduk Banyumanik yang tinggi menuntut adanya pengendalian pemanfaatan lahan kota yang mampu menampung aktivitas penduduk yang juga selalu berkembang. Penyebab utama ketidak teraturan guna lahan disebabkan oleh tidak meratanya persebaran fasilitas kota yanhg hanya terkonsentrasi di salah satu pusat kota saja. Dengan kata lain perkembangan fasilitas fisik meloncat (urban sprawl) sehingga tidak ada kesatuan dari perkembangan ruang-ruang aktivitas perkotaan yang menyebabkan perkembangan lahan perkotaan menjadi tidak terkendali.
KESIMPULAN
Dampak dari urbanisasi di wilayah pinggiran ditinjau dari segi lingkungan hidup adalah turunnya kualitas lingkungan hidup seperti tingkat polusi dan kebisingan di kawasan semakin meningkat, hilangnya lahan konservasi dan penurunan muka air tanah akibat tingginya pemenuhan akan lahan terbangun. Kenyataan penurunan luasan lahan konservasi maupun penurunan muka air tanah akan menimbulkan bencana banjir, longsor pada kawasan lokal maupun kawasan di bawahnya.
Pertambahan jumlah penduduk dan penggunaan lahan berdampak langsung kepada struktur ekologis lingkungan seperti berkurangnya daya permeabilitas tanah, suhu udara yang meningkat, berkurang kandungan air tanah dalam bumi dan berkurangnya sistem drainase alam. Seperti pada kawasan Banyumanik, indikasi ke arah tersebut sudah terlihat dengan adanya gejala yang terjadi seperti ;
- Tingginya intensitas penggunaan lahan kawasan yang mengabaikan persyaratan KDB dan KLB sehingga kepadatan kurang terkendali dan tingkat run off yang tinggi kepada wilayah di bawahnya.
- Berkurangnya lahan kosong sebagai drainase dengan meningkatnya intensitas lahan terbangun seperti di kelurahan Banyumnaik, Ngesrep dan Sumurboto.
- Berkurangnya ruang hijau akibat aktivitas penggunaan lahan yang tidak teratur seperti di beberapa jalur tranportasi kawasan.